Ngobrol Pagi Situasi Terkini Nagari Minang RRI Bukittinggi Bahas Debt Collector yang Merajalela

Bukittinggi – Pada Selasa, (28/2/2023) dalam acara Ngobrol Pagi Situasi Terkini Nagari Minang (Ngopi Steng) RRI Bukittinggi dibahas mengenai debt collector merajalela.

Dengan presenter Jhoni Marbeta, S.E., Ak, Narasumber Dr (cand). Riyan Permana Putra, SH, MH, (Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi), Yusri (Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Sumatera Barat, Komjend Pol Purn. Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. dan Vina Kumala Sari, S.E., M.M., AK. (Tokoh Masyarakat).

Acara diawali dengan penjelasan dari Yusri, Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Sumatera Barat yang menegaskan bahwa debt collector atau penagih utang yang diutus oleh lembaga keuangan atau kreditur dilarang mengambil tindakan yang dapat menimbulkan masalah hukum dan sosial.

“Dalam menjalankan proses penagihan, debt collector tidak boleh melakukan tindakan yang berpotensi menimbulkan masalah hukum dan sosial, antara lain dengan cara ancaman, melakukan tindakan kekerasan yang memalukan, dan memberikan tekanan secara fisik maupun verbal,” kata Yusri melalui saluran telfon pada Selasa, (28/2/2023).

Lalu dilanjutkan dengan pengalaman Vina Kumala Sari sebagai korban debt collector. Vina menceritakan pengalaman tidak menyenangkan yang didapatnya dari debt collector. Dipaparkan Vina, kejadian itu terjadi saat dia maraknya Covid-19. Kala itu angsuran tinggal 1 (satu) bulan lagi dan diluar domisilinya debt collector melakukan penagihan dan dugaan perampasan kendaraan tanpa menunjukkan surat tugas dan kta.

Riyan Permana Putra menerangkan bahwa konsep penagihan utang sudah terjadi sejak ribuan tahun lalu, sekitar 5.000 tahun.

Dapat disimpulkan bahwa kehadiran debt collector sebagai penagih utang tidak dilarang secara hukum.

“Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan OJK tentang debt collector ini memang sudah legal, yakni dalam POJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa perusahaan diperkenankan untuk bekerja sama dengan pihak ketiga di bidang penagihan dengan cara membawa sejumlah dokumen sebagai barang bukti yang sah,” kata praktisi hukum yang menjadi ketua bidang hukum diberbagai organisasi di Sumatera Barat.

Riyan menegaskan meski dalam peraturan perundang-undangan menerangkan bahwa bank atau kreditur berhak menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan penagihan. Akan tetapi, penagihan haruslah dilakukan berdasarkan ketentuan dan etika yang diatur pun dilarang menggunakan kekerasan, ancaman, dan perbuatan pidana lainnya.

Adapun penggunaan jasa debt collector masih marak dilakukan karna jika menempuh jalur hukum lebih tinggi ketimbang “membayar” jasa penagih utang.

“Tidak hanya karena efisiensi biaya, proses penyelesaian utang pun jauh lebih cepat ketimbang saat kreditur memilih penyelesaian model litigasi yang panjang. Belum lagi, dalam proses hukum, eksekusi putusan pengadilan kerap sulit dilakukan,” terangnya.

Riyan pun berharap kepada debt collector tidak menggunakan gaya penagihan yang menyebalkan, penuh teror, serta kerap berperilaku kasar.

Riyan mengharapkan tenaga penagihan harus menggunakan identitas resmi dari bank atau pemberi kredit yang dilengkapi dengan foto diri.

Lalu penagihan harus dilakukan tanpa ancaman, kekerasan, dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan. Dan penagihan dilarang dengan menggunakan tekanan fisik atau verbal. Serta enagihan hanya dapat dilakukan kepada pihak debitur, selain pihak tersebut adalah dilarang.

Selain itu Riyan menjelaskan lebih jauh bahwa penagihan melalui sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus-menerus yang bersifat mengganggu.

Sebaiknya penagihan hanya dapat dilakukan di tempat sesuai alamat penagihan atau domisili debitur. Dan penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan 20.00 wilayah waktu alamat debitur.
Jikalau penagihan di luar domisili atau waktu yang ditentukan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan debitur.

Riyan pun memberikan tips kepada masyarakat yang ditemui debt collector agar menanyakan Identitas, Surat Tugas, dan Sertifikasi Debt Collector. Lalu jelaskan dengan baik kondisi keuangan, termasuk kendala yang dihadapi. Dan jika mengalami ancaman dan intimidasi laporkan tindakan debt collector ke pihak berwajib.

Untuk pengaduan, Riyan menyebutkan masyarakat bisa menghubungi kepolisian, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Perlindungan Konsumen setempat, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) setempat.

Penarikan secara paksan dan intimidasi jelas melanggar Undang-Undang no. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak memberi kewenangan kepada kreditur untuk melakukan upaya penarikan paksa objek jaminan dari debitur. Penarikan harus dilakukan atas izin pengadilan.

Selain itu juga berlawanan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 mengatur, kreditur hanya bisa menarik objek jaminan fidusia usai meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan.

Terakhir, Riyan menjelaskan debt collector yang melanggar hukum bisa dikenakan pasal berlapis sesuai dengan aksi yang dilakukan ketika melakukan perampasan.

“Beberapa pasal tersebut, di antaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 tentang perampasan dengan ancaman hukuman 9 tahun, atau Pasal 365 tentang pencurian dengan kekerasan dan Pasal 378 tentang penipuan,” tutup Riyan.(Jhoni Marbeta/Fendy Jambak)

Bagikan: