
LBH Bukittinggi Terima Laporan Pengaduan Adanya Pengancaman dari Aplikasi Pinjol Ilegal
Bukittinggi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi, Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. baru saja menerima laporan tentang adanya pengancaman penyebaran data pribadi dari pinjaman online (pinjol) ilegal dan padahal yang bersangkutan belum menerima uang yang dipinjamkan.
“Saat itu saya ada masalah keuangan dan saya mencoba mendaftar di beberapa aplikasi pinjol yang tidak resmi (tidak ada di ApsStore). Saat uang belum saya terima. Saya mendapatkan pesan WA yang menagih pinjaman online yang uangnya belum saya terima. Kalo tidak saya bayar mereka akan menyebarkan data pribadi saya,” kata I saat berkonsultasi kepada kami kata Riyan, pada Sabtu, (24/6/2023) di Bukittinggi.
Dalam jawabannya Riyan menyatakan agar tidak ada korban yang sama sebaiknya calon nasabah pinjol cek terlebih dahulu di situs OJK, untuk mengetahui Fintech P2P Lending yang berizin (melansir dari website www.ojk.go.id disampaikan sampai dengan tanggal 3 Januari 2022, total jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech lending yang berizin di OJK adalah sebanyak 103 perusahaan jadi saat ini telah terdapat 103 perusahaan fintech lending yang seluruhnya telah memiliki status berizin).
Setelah itu barulah dicek mengenai perjanjian yang ada khususnya mengenai jangka waktu, bunga, klausula mengenai data pribadi dan biaya administrasi, tambah Riyan.
Dan jika penagihan dilakukan dengan pengancaman itu melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 18/POJK.01/2018 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa penagihan utang harus dilakukan dengan cara yang sopan dan tidak merugikan nasabah. Selain itu, debt collector harus memberikan informasi yang jelas dan benar kepada nasabah mengenai jumlah utang, bunga, biaya, dan jangka waktu pelunasan, lanjut Riyan.
Pada dasarnya, menurut Riyan, tindakan penagihan utang yang menggunakan ancaman kekerasan dan/atau tindakan serupa lainnya yang dimaksudkan agar seseorang melakukan sesuatu, dalam hal ini agar debitur membayar utang, dapat dikualifikasikan sebagai dugaan tindak pidana.
Ketentuan umum yang dirujuk adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana).
Pasal 335 ayat (1) tegas melarang penggunaan kekerasan, ancaman kekerasan dan/atau perlakuan yang tidak menyenangkan untuk memaksa orang lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu, baik terhadap orang itu sendiri (i.c. peminjam) maupun orang lain.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam pidana penjara selama 1 tahun dan denda.
Di beberapa kasus, pasal yang dapat dirujuk untuk menindak pelaku pengancaman kekerasan melalui sarana dan prosedur elektronik yang dilakukan secara melawan hukum adalah Pasal 45 ayat (4) jo. Pasal 27 ayat (4) UU ITE atau Pasal 45B jo. Pasal 29 UU ITE.
Ketentuan sebagaimana termaksud pada UU ITE di atas pada intinya melarang setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan “pemerasan” dan/atau “pengancaman” atau “ancaman kekerasan”.
Bagi siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di atas, maka Pasal 45 ayat (4) jo. Pasal 27 ayat (4) UU ITE memberikan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Sementara Pasal 27 ayat (4) UU ITE atau Pasal 45B jo Pasal 29 UU ITE memberikan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 750 juta.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa tindakan penagihan pinjol memakai ancaman kekerasan atau tindakan serupa lain dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUH Pidana. Kemudian, apabila tindakan “pengancaman” dilakukan melalui sarana elektronik, maka pelaku dapat ditindak menggunakan ketentuan pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam UU ITE, tutupnya.(Fendy Jambak)