Riyan Permana Putra sebut Mitigasi dan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Penting di Bukittinggi
Bukittinggi – BMKG mencatat gempa magnitudo 7,3 melanda Siberut, Mentawai, Pasaman Barat, Padang Pariaman, Agam, Padang, Gunung Sitoli, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Limapuluhkota, Solok Selatan, Solok, Bukittinggi, Labuhan Batu, dan Padang Sidempuan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terjadi gempa terkini yang bisa dirasakan, pada 25 April 2023 pukul 03:00 WIB.
Sebelumnya pada Sabtu, (8/4/2023) gempa bumi terjadi juga di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar). Ada dua kali gempa berbeda yang terjadi dalam selang waktu 11 menit. Berdasarkan data BMKG, gempa pertama terjadi pukul 12.21 WIB. Gempa ini tercatat bermagnitudo (M) 4,5.
“Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempabumi yang terjadi merupakan jenis gempabumi dangkal akibat adanya aktivitas sesar aktif segmen Sianok,” ungkap Kepala Stasiun Geofisika Padangpanjang Dr. Suaidi Ahadi sebagaimana dilansir dari padang ekspres.
Lalu gempa yang berpusat di Bukittinggi Sumatera Barat, Sabtu (8/4/2023) mengakibatkan tebing Ngarai Sianok, Nagari Sianok Anam Suku, Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam Sumatera Barat longsor.
“Pasca gempa yang terjadi pada pukul 12.21 Wib dan 12.32 Wib, berkekuatan 4,5 SR mengakibatkan longsornya tebing Ngarai Sianok, namun tidak menghambat akses jalan,”ujar Kalaksa BPBD Kabupaten Agam Bambang Warsito, Sabtu (8/4/2023) kepada Kompas.com.
Ditempat berbeda, Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi menjelaskan rilis pers LBH Bukittinggi tentang pentingnya “Mitigasi dan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Penting di Bukittinggi.”
Pertama Riyan menjelaskan berdasarkan kajian LBH Bukittinggi menyatakan bahwa Bukittinggi merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Barat yang berada di kawasan rawan bencana gempa bumi, ungkap Riyan, saat mengunjungi kawasan Ngarai Sianok, Selasa, (25/4).
Khusus gempa bumi, Riyan juga menjelaskan bahwa menurut kajian LBH Bukittinggi, Bukittinggi tumbuh dan berkembang di sepanjang jalur patahan aktif Sumatera yang lebih dikenal dengan Ngarai Sianok. Diperkirakan patahan ini bergeser 11 sentimeter per tahun. Kota ini juga dikelilingi oleh dua buah gunung berapi, yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi.
Melihat potensi bencana yang dimiliki oleh Kota Bukittinggi, LBH Bukittinggi
menjadikan hal tersebut sebagai isu permasalahan yang harus dipertimbangkan dalam setiap perencanaan pembangunan Kota Bukittinggi, karena bencana dalam bentuk apapun dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, ungkapnya.
LBH Bukittinggi menyebut bencana tersebut ada juga yang datang dengan didahului oleh peringatan namun ada juga yang datang secara tiba-tiba, sehingga diperlukan pengelolaan bencana yang lebih sistimatis secara bersama-sama baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, tambahnya.
Sesuai dengan misi LBH Bukittinggi, yaitu, menyebarluaskan nilai-nilai negara hukum yang berkeadilan sosial, demokratis kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 maka dalam menyikapi beberapa kali gempa yang terjadi ini berdasarkan kondisi Kota Bukittinggi yang memiliki potensi bencana, maka diperlukan mitigasi bencana yang dapat dijadikan masukan dalam upaya mengurangi resiko bencana.
Sebagaimana amanat dari Pasal 8 huruf b Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan melindungi masyarakat dari dampak bencana.
“Beberapa tanggung jawab lainnya yang diemban pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana dalam Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menurut LBH Bukittinggi, yaitu: mengalokasikan dana penanggulangan bencana; memadukan penanggulangan bencana dalam pembangunan daerah; melaksanakan tanggap darurat; serta melakukan pemulihan pasca bencana,” terangnya.
Saat ini, menurut LBH Bukittinggi, Pemerintah Kota Bukittinggi melalui Peraturan Daerah tentang RT/RW Kota Bukittinggi Tahun 2010-2030 telah menetapkan kawasan rawan bencana longsor dan gempa bumi. Adapun kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana longsor dan gempabumi adalah kawasan Ngarai Sianok dengan luas total kawasan ± 263,19 Ha.
“Dan mitigasi bencana di Bukittinggi diperlukan sebagai upaya pengurangan risiko bencana yang berada pada fase pra bencana yang dilakukan adalah melalui kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan,” tegas Riyan.
LBH Bukittinggi kata Riyan meminta Pemerintah Daerah dan lembaga terkait meningkatkan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana dengan menggencarkan sosialisasi/literasi/edukasi kesiapan dan ketangguhan masyarakat terhadap bencana, dengan cara membangun sikap budaya selamat. Langkah kesiapsiagaan ini juga perlu dibarengi dengan gerakan penghijauan dengan tanaman yang tepat di tempat kritis/rawan bencana, seperti di ngarai rawan longsor.
“Masyarakat juga harus ditingkatkan pengetahuannya mengenai bencana dan bagaimana melakukan evakuasi mandiri saat bencana terjadi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, lanjut Riyan, Pemda dan lembaga terkait juga harus melakukan upaya mitigasi yang konkret, seperti membangun rumah atau bangunan tahan gempa, menata ruang gedung yang aman gempa, belajar cara evakuasi mandiri, dan meningkatkan kemampuan dalam merespons peringatan dini.
“Jujur diakui bahwa masih banyak yang menganggap sepele hal ini. Padahal ancaman gempa ini nyata dan bisa sewaktu-waktu terjadi,” ujar perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum (PPKHI) Sumatera Barat ini.
Ditengah keterbatasan anggaran seperti yang disampaikan oleh Kelurahan atau Kecamatan, menurut Riyan masyarakat perlu membudayakan skenario evakuasi mandiri agar selamat dari bencana tersebut.
“Jadi, setiap KK berupaya mencari jalur evakuasi ke lokasi yang lebih tinggi. Tanpa harus menunggu peringatan dini dan menjadikan guncangan gempa sebagai alarm peringatan dini,” pungkas Ketua Bidang Hukum dibeberapa organisasi ini.
Bencana alam merupakan sebuah keniscayaan yang mengiringi kehidupan umat manusia. Bencana alam tidak dapat dihindarkan, tetapi setidaknya dapat diupayakan agar risiko serta dampak yang ditimbulkan tidak menimbulkan banyak kerugian, baik korban jiwa maupun kerugian materiil dan nonmateriil. Oleh karena menyangkut kepentingan dan keselamatan masyarakat luas, kehadiran negara dalam tindakan penanggulangan mutlak diperlukan, jelas alumni Universitas Indonesia ini.
Memang sebagai bentuk nyata peran pemerintah dan pemerintah daerah, telah dibentuk BNPB di tingkat pusat dan BPBD di tingkat daerah. Lembaga nondepartemen ini merupakan leading sector dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana, tambahnya.
Posisi penting BPBD sebagai bentuk peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tentu harus disertai kemauan pemerintah daerah untuk mencukupi piranti yang dibutuhkan, baik berupa anggaran, SDM, maupun sarana dan prasarana.
“Hal ini berkaca dari beberapa hasil penelitian yang mengkaji peran pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana. Dimana diketahui bahwa faktor penghambat utama yang seringkali dihadapi oleh BPBD adalah permasalahan keterbatasan anggaran, SDM, dan sarana-prasarana, serta lemahnya koordinasi antar sektor yang terlibat,” tutupnya.(Fendy Jambak)